Begitu membaca review film ini, saya langsung tertarik untuk menontonnya. Akhirnya kesampaian juga pada hari Jumat ini (18 Desember 2009). Sebenarnya sih pengen nonton di hari perdana penayangannya (Kamis). Tapi berhubung hujan deras, akhirnya urung deh.
Berikut ini sekilas ulasan saya mengenai film Sang Pemimpi.
Sang Pemimpi (SP) adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama (karangan Andrea Hirata). Juga merupakan lanjutan/sekuel dari film Laskar Pelangi yang cukup sukses sebelumnya. Bedanya, di sekuel kali ini, para tokoh utamanya sudah beranjak remaja. Namun jujur saja, saya malah belum sempat nonton sekuel sebelumnya (LP). Jadi ulasan ini tidak akan membandingkan SP dengan LP.
Berkisah tentang perjalanan hidup 3 sekawan, yaitu Haikal, Arai, dan Jimbron. Ketiganya adalah anak pulau Belitung yang sama-sama punya mimpi besar. Mimpi utama mereka ialah melanjutkan pendidikan (kuliah) di Jakarta dan memperoleh beasiswa belajar ke Paris - Prancis.
Namun hambatan sosial budaya di lingkungan tempat tinggal mereka ternyata tidak mudah untuk ditaklukkan. Budaya turun-temurun dari nenek moyang etnis Melayu Belitung (Sumsel) yang lebih ke jiwa pelaut. Belum lagi pengaruh ‘ajaran’ Melayu yang konon memandang sinis terhadap mimpi yang terlalu muluk. Menilai bahwa bersikap realistis ialah yang terbaik. Memandang bahwa ‘menerima kodrat’ ialah keniscayaan yang harus dijalani.
cuplikan adegan awal (3 sekawan yang lari dari sekolahnya)
Sepintas, mungkin film ini terkesan ingin mendiskreditkan etnis Melayu. Namun tunggu dulu. Saya sama sekali tidak melihat indikasi ke arah itu. Film Sang Pemimpi ini mungkin cuma hendak menyajikan sebuah realitas sosial budaya di kalangan masyarakat tertentu. Kita diajak untuk lebih membumi dan peka dengan kenyataan kultural. Yang saya salutkan, ternyata etnis Melayu di film ini digambarkan sebagai pekerja keras.
Pesan lainnya
Tak lain adalah soal PENTINGNYA BERMIMPI.
Kita semua mungkin sudah tahu, bahwa semua hal berawal dari sebuah mimpi. Namun mungkin belum banyak di antara kita yang betul-betul tahu hakikat bermimpi. Bahwa mimpi itu perlu dipelihara terus-menerus. Perlu dikobarkan.
Namun yang terpenting adalah sikap kita terhadap mimpi yang sudah kita tanamkan tersebut. Seberapa serius dan seberapa teguh kita berupaya mencapainya? Sudah siapkah kita menghadapi segala tantangan yang PASTI AKAN MENGHADANG nantinya? Apakah diri kita sudah cukup pantas untuk menggapai mimpi tersebut?
Itulah yang tergambar lewat film ini.
Sosok 2 orang guru sekolah yang digambarkan di film ini saya lihat mewakili dua karakter manusia dalam memandang soal MIMPI. Yang satu cenderung lebih realistis dan berhati-hati (penuh pertimbangan). Yang satu lagi cenderung optimis dan penuh semangat. Tidak ada yang lebih baik, sebab keduanya harus sejalan/beriringan.
Di sisi lain, karakter 3 tokoh utama (tiga sekawan) saya lihat sudah cukup pas. Artinya, masing-masing saling melengkapi. Sosok Arai digambarkan sebagai anak yang bermental tangguh. Selain itu, jiwa sosial dan empatinya patut diacungi 2 jempol. Lihat bagaimana ia menabung hanya demi memberikan modal usaha tetangganya (agar tidak lagi hidup mengandalkan belas kasihan orang lain). Lihat pula bagaimana ia bekerja banting tulang hanya demi menyenangkan dan mewujudkan impian sahabatnya (Jimbron) yang sangat terobsesi dengan kuda.
Atau lihat juga bagaimana Arai berusaha mengembalikan semangat Haikal yang sempat down saat berhadapan dengan realita spahit.
Para pemain senior yang terlibat di film ini sudah tidak perlu dikritisi lagi kualitas aktingnya. Lihatlah bagaimana Matthias Muchus berekspresi (lewat mimik wajah dan bahasa tubuh). Yang menarik adalah melihat seorang rocker seperti Nugie berakting sebagai seorang guru. Bahkan yang paling mengejutkan saya ialah tampilnya Ariel Peterpan di babak terakhir (sebagai Arai yang sudah dewasa).
Ternyata aktingnya boleh juga, walau terasa aneh. Seorang Ariel gitu lho. Yang nggak pernah main film atau sinetron sebelumnya. Walau porsinya sedikit, Ariel lumayan sukses memerankan Arai dewasa yang bicaranya masih berlogat Melayu Belitung
dua cuplikan adegan akting ariel di film Sang Pemimpi
Sedangkan akting Nugie juga top deh. Seorang penyanyi (sekarang pemain drum di band The Dance Company) ternyata bisa juga menjelma menjadi seorang guru yang bijak
Untuk pemain-pemain baru (3 sekawan), saya cukup memaklumi jika akting mereka kadang terasa masih kaku. Wajar banget lah.
Namun yang bikin saya gemes ialah wajah manis si pemeran Zakiah Nurmala. Dia adalah Maudy Ayunda. Sumpeh deh, tu cewek manis dan kiyut bangeeet
Film ini sangat layak tonton, penuh inspirasi, edukasi, dan nilai-nilai perjuangan hidup. Sedikit kekurangan mungkin terletak pada ending yang terasa kurang klimaksnya. Mengapa tidak berupa tercapainya impian Arai dan Haikal menjejakkan kaki ke Paris? Yang ada cuma sampai ke daratan Eropa, tepatnya kota Brussel (yang sedang musim salju).
Ini dia cuplikan adegan di endingnya (saat Ikal dan Arai berada di kota Brussel)
Berikut ini sekilas ulasan saya mengenai film Sang Pemimpi.
Pengantar
Sang Pemimpi (SP) adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama (karangan Andrea Hirata). Juga merupakan lanjutan/sekuel dari film Laskar Pelangi yang cukup sukses sebelumnya. Bedanya, di sekuel kali ini, para tokoh utamanya sudah beranjak remaja. Namun jujur saja, saya malah belum sempat nonton sekuel sebelumnya (LP). Jadi ulasan ini tidak akan membandingkan SP dengan LP.
Sekilas review dan muatan pesan
Berkisah tentang perjalanan hidup 3 sekawan, yaitu Haikal, Arai, dan Jimbron. Ketiganya adalah anak pulau Belitung yang sama-sama punya mimpi besar. Mimpi utama mereka ialah melanjutkan pendidikan (kuliah) di Jakarta dan memperoleh beasiswa belajar ke Paris - Prancis.
Namun hambatan sosial budaya di lingkungan tempat tinggal mereka ternyata tidak mudah untuk ditaklukkan. Budaya turun-temurun dari nenek moyang etnis Melayu Belitung (Sumsel) yang lebih ke jiwa pelaut. Belum lagi pengaruh ‘ajaran’ Melayu yang konon memandang sinis terhadap mimpi yang terlalu muluk. Menilai bahwa bersikap realistis ialah yang terbaik. Memandang bahwa ‘menerima kodrat’ ialah keniscayaan yang harus dijalani.
Sepintas, mungkin film ini terkesan ingin mendiskreditkan etnis Melayu. Namun tunggu dulu. Saya sama sekali tidak melihat indikasi ke arah itu. Film Sang Pemimpi ini mungkin cuma hendak menyajikan sebuah realitas sosial budaya di kalangan masyarakat tertentu. Kita diajak untuk lebih membumi dan peka dengan kenyataan kultural. Yang saya salutkan, ternyata etnis Melayu di film ini digambarkan sebagai pekerja keras.
Pesan lainnya
Tak lain adalah soal PENTINGNYA BERMIMPI.
Kita semua mungkin sudah tahu, bahwa semua hal berawal dari sebuah mimpi. Namun mungkin belum banyak di antara kita yang betul-betul tahu hakikat bermimpi. Bahwa mimpi itu perlu dipelihara terus-menerus. Perlu dikobarkan.
Namun yang terpenting adalah sikap kita terhadap mimpi yang sudah kita tanamkan tersebut. Seberapa serius dan seberapa teguh kita berupaya mencapainya? Sudah siapkah kita menghadapi segala tantangan yang PASTI AKAN MENGHADANG nantinya? Apakah diri kita sudah cukup pantas untuk menggapai mimpi tersebut?
Itulah yang tergambar lewat film ini.
Penokohan dan Pengkarakteran
Sosok 2 orang guru sekolah yang digambarkan di film ini saya lihat mewakili dua karakter manusia dalam memandang soal MIMPI. Yang satu cenderung lebih realistis dan berhati-hati (penuh pertimbangan). Yang satu lagi cenderung optimis dan penuh semangat. Tidak ada yang lebih baik, sebab keduanya harus sejalan/beriringan.
Di sisi lain, karakter 3 tokoh utama (tiga sekawan) saya lihat sudah cukup pas. Artinya, masing-masing saling melengkapi. Sosok Arai digambarkan sebagai anak yang bermental tangguh. Selain itu, jiwa sosial dan empatinya patut diacungi 2 jempol. Lihat bagaimana ia menabung hanya demi memberikan modal usaha tetangganya (agar tidak lagi hidup mengandalkan belas kasihan orang lain). Lihat pula bagaimana ia bekerja banting tulang hanya demi menyenangkan dan mewujudkan impian sahabatnya (Jimbron) yang sangat terobsesi dengan kuda.
Atau lihat juga bagaimana Arai berusaha mengembalikan semangat Haikal yang sempat down saat berhadapan dengan realita spahit.
Akting Pemain
Para pemain senior yang terlibat di film ini sudah tidak perlu dikritisi lagi kualitas aktingnya. Lihatlah bagaimana Matthias Muchus berekspresi (lewat mimik wajah dan bahasa tubuh). Yang menarik adalah melihat seorang rocker seperti Nugie berakting sebagai seorang guru. Bahkan yang paling mengejutkan saya ialah tampilnya Ariel Peterpan di babak terakhir (sebagai Arai yang sudah dewasa).
Ternyata aktingnya boleh juga, walau terasa aneh. Seorang Ariel gitu lho. Yang nggak pernah main film atau sinetron sebelumnya. Walau porsinya sedikit, Ariel lumayan sukses memerankan Arai dewasa yang bicaranya masih berlogat Melayu Belitung
Sedangkan akting Nugie juga top deh. Seorang penyanyi (sekarang pemain drum di band The Dance Company) ternyata bisa juga menjelma menjadi seorang guru yang bijak
Untuk pemain-pemain baru (3 sekawan), saya cukup memaklumi jika akting mereka kadang terasa masih kaku. Wajar banget lah.
Namun yang bikin saya gemes ialah wajah manis si pemeran Zakiah Nurmala. Dia adalah Maudy Ayunda. Sumpeh deh, tu cewek manis dan kiyut bangeeet
Kesimpulan
Film ini sangat layak tonton, penuh inspirasi, edukasi, dan nilai-nilai perjuangan hidup. Sedikit kekurangan mungkin terletak pada ending yang terasa kurang klimaksnya. Mengapa tidak berupa tercapainya impian Arai dan Haikal menjejakkan kaki ke Paris? Yang ada cuma sampai ke daratan Eropa, tepatnya kota Brussel (yang sedang musim salju).
Ini dia cuplikan adegan di endingnya (saat Ikal dan Arai berada di kota Brussel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar