Rabu, 08 Desember 2010

MAKALAH PANCASILA DAN WAWASAN KEWARGANEGARAAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin…

                                                                                    Langsa, 07 Desember 2010
                                                                                                    Penyusun


                                                                                ZAHRUL AKMAL



















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................         1
DAFTAR ISI............................................................................................................. 2

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………     3
BAB II
PEMBAHASAN………………………..........................................................          17
A.   Pengertian Pilkada..................................................................................... ..       4
B.   Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada…………………………………        5
C.   Solusi.....................................................................................…………   ….       7
PANCASILA DAN WAWASAN KEWARGANEGARAAN…………..........     8
A.   Pengertian Kewarganegaran...................................................................... ..       8
PANCASILA PEMERSATU BANGSA…………..........................................        11
PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN.........................         14
A.   Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan…………………………..          14
B.   Kompetensi Yang Diharapkan……………………………………………         14
C.   Pengertian Dan Pemahaman Tentang Bangsa Dan Negara……………...          15

Landasan Hubungan UUD 1945 dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia…………………………...    17

QUO VADIS PENDIDIKAN PANCASILA DAN

KEWARGANEGARAAN……………………………………………………...     18

BAB II
KESIMPULAN…………..............................................................................,           30

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah  pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden  serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004.  Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang berhubungan dengan  pemilih.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan
Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1.          Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.          Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.          Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.          Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.          Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

  1. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
  1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu  salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
  1. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
  1. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
  1. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
  1. Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
  1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
  2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
  3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
  4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
PANCASILA DAN WAWASAN KEWARGANEGARAAN
             Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan cahaya bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
             Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
              Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi. Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri.

  1. Pengertian Kewarganegaran
Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan.
Pelajaran Civics mulai  diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik.
Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan yang searti dengan “Civic Education” itu dijadikan sebagai salah satu mata kuliah  wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa di Perguruan Tinggi untuk program diploma/politeknik dan program Sarjana (SI), baik negeri  maupun swasta.
Di dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dipakai sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajin memuat a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, dan c) Pendidikan Kewarganegaraan yang mencakup Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).
Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan salah satu mata kuliah  inti sebagaimana tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberi pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga Negara dengan nengara, serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (SK Dirjen DIKTI no.267/DIKTI/Kep/2000 Pasal 3).
 Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics Education ini bagi suatu Negara maka hampir di semua Negara di dunia memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan yang mereka selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of Jurist yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa pemerintahan suatu negara baru  dapat dikatakan  sebagai pemerintahan yang  demokratis manakala ada jaminan secara tegas terhadap hak-hak asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan Kewarganegaraan atau ”Civic Education”. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka selenggarakan, diharapkan warga negaranya akan menjadi warga negara yang cerdas dan warga negara yang baik (smart and good citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya  sebagai warga negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara yang memiliki jiwa dan semanagt patriotisme dan nasionalisme  yang tinggi.
Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan termasuk salah satu mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dimana kelompok mata kuliah ini merupakan pendidikan umum yang  sifatnya sangat fundamental/mendasar.
Mata kuliah Pengembangan Kepribadian terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1.      Pendidikan Agama
2.      Pendidikan Pancasila
3.      Pendidikan Kewarganegaraan
Adapun tujuan diberikannya MKPK  ini agar para sarjana Indonesia memiliki kualifikasi.
1.      Taqwa kepada Allah  -  Tuhan  Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran  agama yang diyakini dan dipeluknya, serta memiliki  sikap tenggang  rasa/toleransi terhadap agama/keyakinan orang  lain.
2.      Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan dan tindakan mencerminkan prinsip-  
prinsip Pancasila serta memiliki integritas moral yang tinggi, yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan kemanusiaan di atas kepentingan pribadi maupun golongannya.
3.      Memiliki wawasan yang untuk/komprehensif dan pendekatan yang integral dalam mensikapi  permasalahan kehidupan, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan.
   Adapun mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK)  diwajibkan  disemua lembaga pendidikan tinggi seperti tersebut di atas bertujuan untuk mengembangkan aspek kepribadian mahasiswa, suatu aspek  yang paling fundamental dalam kehidupan manusia, serta menjadi dasar dan landasan bagi semua aspek lainnya. Sementara mata kuliah lain yang dikelompokkan dalam Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) dan Mata Kuliah Keahlian (MKK) merupakan  sejumlah  mata kuliah yang  dimaksudkan untuk mengembangkan keahlian mahasiswa dalam disiplin ilmu yang  dipilihnya. Dengan kata lain dikuliahkannya MKDK dan MKK adalah dalam rangka untuk mengembangkan aspek  kemampuan (abilitas) mahasiswa yang seluruhnya bermuara pada satu tujuan agar kelak ia cakap  menghadapi kehidupan yang serba menantang dan lebih khusus lagi ia bisa dapat pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang memadai.
Berkaitan dengan perlunya setiap orang mengembangkan  kedua aspek yang paling mendasar itu, yaitu  aspek kepribadian dan aspek kemampuan, kiranya patut disimak apa yang pernah diucapkan oleh Albert Einstein bahwa ”Science without religion is blind. Religion without science is lame”. Suatu pengetahuan tanpa dilandasai oleh moralitas agama adalah buta. Agama tanpa didukung oleh pengetahuan lumpuh.
Dalam ungkapan yang berbeda namun esensinya sama, Driyarkara menyatakan bahwa dalam suatu  kehidupan terdapat sekian banyak  nilai, wert atau values.  Namun kalau diklasifikasikan hanya ada dua  nilai saja, yaitu  nilai alat (tool) dan nilai  tujuan. Driyarkara memasukkan aspek kepribadian ini ke dalam nilai tujuan, sedang aspek kemampuan (abilitas) dimasukkannya ke dalam nilai alat. Bagi manusia harus dibedakan antara nilai alat dan nilai tujuan. Nilai tujuan ialah kesempurnaan pribadi manusia. Nilai-
nilai lainnya, yang hanya memuaskan atau menolong kejasmanian manusia adalah nilai alat dan (sama sekali) bukan nilai  tujuan. Agar supaya perbuatan  manusia tidak menjadi kegila-gilaan, maka nilai alat harus tetap menjadi/sebagai nilai alat, dan tidak boleh dijadikan sebagai nilai  tujuan.

PANCASILA PEMERSATU BANGSA
Istilah dan susunan persatuan, kesatuan daripada Pancasila dalam keadaannya sebagaimana terdapat pada dirinya sendiri.
Di dalam istilah Pancasila tidak tersimpul isi daripada dasar filsafat negara, melainkan hanya menunjukkan bahwa dasar filsafat negara Indonesia tersusun atas lima hal, yang masing-masing merupakan suatu sila, suatu asas peradaban, suatu asas keadaban. Kelima sila tersebut merupakan bagian-bagian dalam kesatuan dasar. Bangsa Indonesia hanya memiliki satu dasar yang susunannya tidak tunggal, akan tetapi majemuk tunggal.
II. Pancasila adalah asas persatuan, kesatuan, damai, kerjasama, hidup bersama dari bangsa Indonesia yang warga-warganya sebagai manusia yang memiliki bawaan kesamaan dan perbedaan.
Hendaknya warga Indonesia menempatkan perbedaan-perbedaan dan pertentengan-pertentangan dalam kedudukan dan arti yang tidak mempengaruhi kesamaan serta kesatuan bangsa Indonesia. Adanya perbedaan-perbedaan itu, disadari sebagai suatu hal yang memang menjadi bawaan sebagai manusia pribadi dan makhluk. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beridiologi. Asas-asas dalam Pancasila meresap dan hidup terpelihara dalam sanubari bangsa Indonesia sebagai pembangun hidup yang telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia.
III. Bangsa Indonesia ber”Pancasila”dalam triprakara yang saling memperkuat dan memperkembangkan.
Bangsa Indonesia berPancasila dalam tiga jenis yang bersama-sama dimiliki, maka tidak ada pertentangan antara ”Pancasila” Negara, ”Pancasila” adat kebudayaan, ”Pancasila”religius. Ketiganya saling memperkuat. Negara berPancasila berarti memperkuat dan memperkembangkan bangsa Indonesia beragama dan berkebudayaan, bangsa Indonesia beragama dan berkebudayaan berarti memperkuat dan memperkembangkan Pancasila Negara dan Negara, juga bangsa Indonesia sendiri.
IV. Tempat terdapatnya Pancasila ialah dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila dalam mukadimah baik dari konstitusi RIS maupun dari UUD Sementara merupakan suatu dasar dalam arti dasar dari organisasi susunan dan penyelenggaraan negara Indonesia bukan bukan sebagai dasar filsafat negara. Pancasila sebagai dasar filsafat negara RI menjadi ada baru dengan adanya Pembukaan UUD 1945. Terbentuknya UUD 1945 sesudah pembukaan itu ada.

V. Rumus persatuan, kesatuan Pancasila
Pancasila terdiri atas lima rumusan yang merupakan kesatuan. Bagian-bagian itu tidak saling bertentangan. Tiap-tiap bagian merupakan bagian yang mutlak, apabila dihilangkan satu bagian saja hilanglah juga hal yang lainnya. Sebaliknya terlepas darihalnya bagian-bagiannya kehilangan kedudukan dan fungsinya.
VI. Sila-sila Pancasila merupakan persatuan dan kesatuan.
Di dalam tiap sila tersimpul sila-sila yang lainnya, yaitu
1. Sila Ketuhanan YME adalah Ketuhanan YME yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah ber-Ketuhanan YME, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila persatuan Indonesia adalah yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan adalah yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
VII.Pancasila mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, berupa sifat kodrat manusia dalam kenyataan yang sewajarnya, ialah sifat perseorangan (individu) dan makhluk sosial dalam kesatuan yang bulat dan harmonis (kedua tunggalan, monodualis)
Manusia menjadi pendukung atau subjek daripada sila-sila Pancasila sehingga di dalam Pancasila tersimpul hal-hal yang mutlak daripada manusia yaitu susunan diri manusia atas tubuh dan jiwa sebagai kesatuan, sifat perseorangan dan makhluk sosial sebagai kesatuan serta kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu dengan kata lain Pancasila mempunyai sifat dasar kesatuan berupa dua sifat kodrat manusia yang merupakan kesatuan, suatu keduatunggalan atau monodualis. Sifat kodrat monodualis kemanusiaan itu mempunyai arti menentukan dalam hal-hal pokok mengenai kenegaraan. Oleh karena itu negara Indonesia merupakan negara monodualis dalam segala sesuatunya. Karena sifatnya mutlak monodualis kemanusiaan, negara Indonesia adalah negara hukum kebudayaan yaitu negara yang terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup baik dalam kelahiran maupun kebatinan yang keduanya memiliki kepentingan dan kebutuhan perseorangan dan bersama, namun keduanya diselenggarakan tidak saling mengganggu melainkan dalam kerjasama.
VIII. Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat Negara dalam Pembukaan UUD 1945
Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada waktu ditetapkan Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.Pancasila lebih dahulu diusulkan sebagai dasar filsafat Negara Indonesia Merdeka yaitu pada tanggal 1 Juni 1945 dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Unsur-unsur Pancasila telah ada dalam adat kebiasaan, kebudayaan, agama-agama bangsa Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu sila-sila Pancasila bukan hasil ciptaan belaka, akan tetapi diketemukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A.   Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan jamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai–nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai–nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan.

Semangat perjuangan bangsa yang telah ditunjukkan pada kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai– nilai perjuangan Bangsa Indonesia. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia.

B.   Kompetensi Yang Diharapkan
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untukmenumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para mahasiswa calon sarjana/ilmuwan warga negara Republik Indonesia yang sedang mengkaji dan akan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.
Rakyat Indonesia, melalui MPR menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa“. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “.

C.   Pengertian Dan Pemahaman Tentang Bangsa Dan Negara
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Bangsa adalah orang–orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Atau bisa diartikan sebagai kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu dimuka bumi.

Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang sama–sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.

1. Teori terbentuknya negara
a. Teori Hukum Alam (Plato dan Aristoteles).
Kondisi Alam => Berkembang Manusia => Tumbuh Negara.
b. Teori Ketuhanan
Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan, termasuk adanya negara.
c. Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)
Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan, manusia akan musnah bila ia tidak mengubah cara–caranya. Manusia pun bersatu (membentuk negara) untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.2. Unsur Negara
a. Konstitutif.
Negara meliputi wilayah udara, darat, dan perairan (unsure perairan tidak mutlak), rakyat atau masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat
b. Deklaratif.
Negara mempunyai tujuan, undang–undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara de jure dan de facto dan ikut dalam perhimpunan bangsa–bangsa, misalnya PBB.
3. Bentuk Negara
a. Negara kesatuan
1. Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi
2. Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi
b. Negara serikat, di dalam negara ada negara yaitu Negara bagian.

1. Konsep Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah bentuk kekuasaan (kratein) dari, oleh, dan untuk rakyat (demos). Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke 13 sumber–sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak–hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan.

Landasan Hubungan UUD 1945 dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
1. Pancasila sebagai ideologi negara
Telah disebutkan bahwa Pancasila merupakan falsafah bangsa sehingga ketika Indonesia menjadi negara, falsafah Pancasila ikut masuk dalam negara. Cita–cita bangsa tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga dengan demikian Pancasila merupakan Ideologi Negara.
Paham yang dianut dalam sistem kenegaraan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan (United States Republic of Indonesia). Penyelenggara kekuasaan adalah rakyat yang membagi kekuasaan menjadi lima yaitu :
1. Kekuasaan tertinggi diberikan oleh rakyat kepada MPR (Lembaga Konstitutif)
2. DPR sebagai pembuat undang–undang (Lembaga Legislatif) 18
3. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan (Lembaga Eksekutif)
4. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan penguji undang–undang (Lembaga Yudikatif)
5. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang mengaudit keuangan negara (Lembaga Auditatif)
Kewajiban warga negara antara lain :
- Melaksanakan aturan hukum.
- Menghargai hak orang lain.
- Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan–kebutuhan masyarakatnya.
- Melakukan kontrol terhadap para pemimpin dalam melakukan tugas–tugasnya
- Melakukan komuniksai dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal dan pemerintah nasional.
- Membayar pajak
- Menjadi saksi di pengadilan
- Bersedia untuk mengikuti wajib militer dan lain–lain.
 Tanggung jawab warga negara
Tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (right) dan kewajiban (duty) sebagai warga negara dan bersedia menanggung akibat atas pelaksanaannya tersebut. Bentuk tanggung jawab warga negara :
- Mewujudkan kepentingan nasional
- Ikut terlibat dalam memecahkan masalah–masalah bangsa 12
- Mengembangkan kehidupan masyarakat ke depan (lingkungan kelembagaan)
- Memelihara dan memperbaiki demokrasi
Peran warga negara
- Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembaga–lembaga negara.
- Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
- Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.
- Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, melakukan pembinaan kepada fakir miskin.
- Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
- Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.
- Menciptakan kerukunan umat beragama.
- Ikut serta memajukan pendidikan nasional.
- Merubah budaya negatif yang dapat menghambat kemajuan bangsa.
- Memelihara nilai–nilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll).
- Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
- Menjaga keselamatan bangsa dari segala macam ancaman.

QUO VADIS PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Presiden Abdurrahman Wahid pada peringatan hari lahirnya Pancasila yang ke-55, tanggal 1 Juni 2000 berpendapat bahwa Pancasiia bukanlah sekadar “falsafah” bangsa, karena ia memiliki peran lebih dari itu. Menurut Gus Dur, falsafah adalah seperangkat pengetahuan, sementara Pancasila bukan semata-mata pengetahuan. Pancasiia adalah panduan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu Gus Dur mengharapkan agar kelima prinsip dasar Pancasila seharusnya mengatasi falsafah. Penegasan mantan presiden keempat RI ini merupakan bagian dari pandangannya bahwa Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara RI.
Gagasan semacam ini tidak hanya membuka sebuah diskursus yang hangat mengenai Pancasila, tetapi juga wawasan berpikir tentang bagaimana seharusnya mengajarkan bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di sekolah. Tulisan ini akan pertama-tama membahas diskursus mengenai Pancasila tidak sekadar sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia tetapi juga sebagai ajaran moral yang menjadi rujukan tingka laku hidup berbangsa. Saya kemudian menggagas beberapa pemikiran tentang bagaimana seharusnya PPKn diajarkan di sekolah-sekolah. Tulisan ini diakhiri dengan sebuah penutup singkat.
1.      Tanggapan Para Pemikir
Beberapa pemikir kemudian menanggapi pernyataan Gus Dur tersebut dengan point of reference yang berbeda-beda. Pertama, seraya mempertahankan eksistensi Pancasila sebagai dasar negara, Arbi Sanit, pengamat dan pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia, berpendapat bahwa Pancasila sesungguhnya bukanlah sebuah ideolagi sama seperti kita mengenal komunisme, sosialisme, demokrasi dan ideologi-ideologi lainnya. Arbi Sanit justru menempatkan Pancasila sebagai yang mengatasi ideologi-ideologi, dan karena itu Pancasiia merupakan sintesa dari ideologi-ideoiogi. Sebagaimana dilansir Suara Pembaharuan, pandangan Arbi Sanit disimpulkan oleh media itu sebagai berikut:
“Pancasila bukan ideolagi tetapi sebagai dasar negara yang meliputi berbagai ideologi lain seperti demokrasi, komunisme dan sosialisme … Yang terpenting baik secara konseptual maupun operasional adalah bagaimana menciptakan Pancasila sebagai dasar negara maupun menciptakan kerja sama berbagai ideologi untuk membangun bangsa.”[1]
Kedua, Dr. J. Kristiadi berpandangan lain. Penetiti Senior pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini justru menekankan sifat keterbukaan dan ketakkekalan Pancasila. Bagi Kristiadi, Pancasila harus bersifat terbuka terhadap ideologi-ideologi lain dan bukannya dikerdilkan menjadi satu-satunya asas atau ideologi yang mampu menjelaskan segata hal yang berhubungan dengan kehidupan kebangsaan kita. Dalam keterbukaan akan terjadi interaksi antarideologi. Jika dalam interaksi tersebut ternyata terjadi bahwa ada ideologi lain yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa, maka Pancasila bisa digantikan oleh ideologi-ideologi baru tersebut, “Asalkan melalui proses yang demokratis,” tegas J. Kristiadi.[2]
Keragaman pemahaman di atas—Gus Dur, Arbi Sanit dan J. Kristiadi—bisa dikemukakan empat pokok pemikiran berikut. Pertama, pandangan Abdurrahman Wahid mengenai Pancasila sebagai yang bukan sekadar falsafah mengandung pengertian bahwa kelima asas/prinsip dasar Pancasila tidak semata-mata menjadi objek kajian atau bahan pelajaran. Yang seharusnya terjadi adalah bahwa aspek pengetahuan karena proses belajar kita mesti juga mempengaruhi tingka laku hidup kita sehari-hari. Dalam konteks ini lalu pengetahuan mengenai apa yang baik dan buruk berdasarkan panduan nilai-nilai moral Pancasila semestinya mempengaruhi kehendak (will) manusia Indonesia sehingga pola hidup dan perbuatannya sesuai dengan nila-nilai tersebut.
Pemahaman Gus Dur ini mau tidak mau membawa kita kepada satu pembedaan klasik dalam studi etika sebagai filsafat moral yang hendak dibedakan dari ajaran-ajaran moral. Sebagai filsafat moral, etika mengevaluasi secara kritis tindakan-tindakan moral kita, termasuk menguji dasar-dasar dan motivasi-motivasinya. Sementara ajaran-ajaran moral berhubungan dengan “wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.”[3]
Pancasila sesungguhnya merupakan etika atau filsafat moral—dab karena itu kita mengenal Filsafat Pancasila—yang ajaran-ajarannya menjadi the inner state of mind kita dalam mengkritisi sikap, motivasi serta tindakan-tindakan moral kita. Di sini lalu diandaikan sebuah keterbukaan yang interaktif dengan pelbagai aliran filsafat moral demi pemerkayaan pandangan filsafat Pancasila itu sendiri. Gus Dur justru khawatir bahwa kita memperlakukan Pancasila hanya sekadar sebagai filsafat Pancasila. Pancasila juga seharusnya menjadi ajaran moral karena kelima nilai luhurnya bersumber dari tradisi dan adat istiadat, ajaran-ajaran agama dan ideologi-ideologi tertentu yang bisa dikonkretisasikan—karena konsensus—dalam hukum-hukum dasar tertulis.[4] Demikianlah seorang manusia Indonesia yang Pancasilais hidup sesuai dengan ajaran-ajaran moral Pancasila (dalam bentuk mematuhi hak-hak dan kewajiban­-kewajibannya sebagai warga negara), tetapi juga mampu mengkritisi sikap, motivasi dan tindakan-tindakan moralnya, termasuk tindakan moral masyarakat dan negara secara keseluruhan.
Kedua, sebagaimana juga ditegaskan J. Kristiadi, yang justru terjadi—­terutama selama masa Orde Baru—adalah pemerosotan nilai-nilai iuhur Pancasila. Begitu seringnya para pejabat berbicara mengenai nilai-nilai luhur Pancasila sementara perilaku mereka justru bertentangan dengan nilai-nilai Iuhur yang mereka kotbahkan itu. Akibatnya, terjadi gap antara aspek-aspek kognitif mengenai Pancasila dengan perilaku hidup sehari-hari sebegitu rupa sehingga seakan-akan perilaku hidup yang salahpun sesuai dengan Pancasila.
“Pancasila akhir-akhir ini menjadi pelajaran kemunafikan. Saat ini banyak arang jijik membicarakan Pancasila karena orang yang membicarakan Pancasila justru menjadi pelanggar nilai-nilai Pancasila yang paling paling jahat. Misalkan saja para pejabat. Setiap saat omongnya Pancasila melulu, tetapi sikap lahirnya justru merusak nilai-nilai dasariah Pancasila.”[5]
Ketiga, sebagai sintesis dari nilai-nilai luhur bangsa,[6] Pancasila seharusnya bersifat terbuka. Memang tidak dikatakan secara eksplisit baik pada sidang BPUPKI maupun PPKI mengenai sifat Pancasila yang terbuka, namun penegasan pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bahwa UUD 1945 bukan merupakan UUD yang bersifat kekal mengandung pengertian bahwa Pancasila juga bisa diubah. Kalau sekarang kita merasa takut atau risih mengenai perubahan dasar negara, ketakutan ini sebagiannya merupakan buah dari indoktrinasi Orde Baru yang memposisikan Pancasila sebagai sesuatu yang sakral dan untouchable. Padahal sebagai sintesis Pancasila merupakan tafsiran terhadap nilai hidup yang dimiliki masyarakat. Kalaupun kelima nilai luhur Pancasila masih tetap dipertahankan, tafsiran terhadapnya tidak bisa dimonapoli oleh sekelompok orang saja sebagaimana dilakoni BP-7 selama rezim Orde Baru.[7] Untunglah para wakil rakyat, melalui TAP MPR No. XVlIIIMPR/1998 telah menginstruksikan pencabutan P-4 sehingga penafsiran terhadap Pancasila menjadi lebih bebas, terbuka, dan bisa juga dilakukan oleh siapa saja.
Keempat, sifat Pancasila yang terbuka akan menghindarkan Pancasila dari karakteristik utama sebuah ideologi, yakni tertutup dan tidak kompromistis. Di sini ideologi dipahami sebagai “a system of practical belief developed by and characteristic of a group whose members have common political, economical, religious or cultural bonds.”[8] Disebut tertutup karena dirumuskan dan diterima hanya oleh kelompok yang melahirkan dan kelompok-kelompok lain yang merasa bahwa ideologi tersebut bisa mewadahi kepentingan mereka. Selain itu, ideologi juga cendrung tidak kompromistis dalam arti paham atau ajaran ideologi diyakini kebenarannya sebegitu rupa sehingga ideologi-ideologi lainnya divonis sebagai salah atau bertentangan dengan pandangan-pandangan mayoritas masyarakat.
Di sini lalu harapan Arbi Sanit bahwa Pancasila harus mengatasi dan melingkupi semua ideologi yang ada karena peran sintesisnya bisa dipahami dalam konteks keterbukaan dan interaksi positif antarideologi. Konsekuensi logisnya, dalam Pancasila bisa ditemukan nilai-nilai positif dari liberalisme, komunisme, nasionalisme, demokrasi, ideologi-ideologi religius serta ideologi-ideologi lainnya.
2.      Quo Vadis PPKn
Uraian di atas menampilkan betapa luasnya bidang kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bagi siswa-siswi SD – SLTA.[9] Sehubungan dengan kekhawatiran Abdurrahman Wahid di atas berbunyi, pertanyaan yang harus diajukan adalah bagaimana seharusnya PPKn diajarkan di sekolah-sekolah? Sejauh mana kurikulum pendidikan nasional (kurikulum 1994 dan Suplemen GBPP 1999) memetakan persoalan ini dalam merancang topik-topik pembelajaran PPKn?” Metode pendekatan seperti apa yang lebih pas bagi proses pembelajaran PPKn?
2.1. Visi Kurikulum Mengenai Pengajaran PPKn
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan untuk menawarkan nilai­-nilai etis (moral) yang bisa menjadi pedoman bagi kehidupan bersama selaku warga negara. Untuk itu GBPP PPKn 1994—kemudian disempurnakan dengan suplemen kurikulum tahun 1999—telah menetapkan sebuah metode pendekatan yang efektif bagi upaya pembelajaran moral Pancasila, yakni spiral approach (pendekatan spiral meluas). Dengan pendekatan spiral meluas penawaran nilai-­nilai moral Pancasila pertama-tama harus menjadi norma hidup bagi pribadi-­pribadi (personal values): Semakin banyak orang menghidupi nilai-nilai moral Pancasila akan dengan sendirinya mempengaruhi masyarakat pada umumnya. Pendekatan spiral meluas mau menegaskan bahwa kalau masing-masing pribadi dan manusia Indonesia adalah baik secara moral maka masyarakat Indonesia secara umum pun akan dengan sendirinya bermoral baik.
Kurikulum 1994 bidang studi PPKn menegaskan bahwa introduksi nilai­-nilai moral Pancasila selalu bersifat dua arah. Pertama ditempuh dengan mengacu pada nilai-nilai moral yang berakar pada budaya bangsa. Dan ini lebih bersifat pewarisan nilai-nilai seperti sikap menghargai orang lain, kebijaksanaan, pengabdian dan ketaatan, kerukunan, musyawarah, gotong-royong, keselarasan dan keserasian, kasih sayang, ketertiban (materi ajar PPKn kelas I SLTA), keramahtamaan, keikhlasan dan kejujuran, kesetiaan, kesederhanaan, hidup hemat (materi ajar PPKn kelas II SLTA), kerja sama, pengendalian diri dan gotong royong (materi ajar PPKn kelas III SLTA).
Selain itu, PPKn juga mengacu pada nilai-nilai bentukan (acquired values) karena terjadinya kontak kebudayaan dan agama. Nilai-nilai tersebut antara lain pluralisme, pentingnya hidup berdampingan, kerja sama dan toleransi antarumat beragama, pentingnya kerja sama antarnegara, penerapan nilai-nilai demokrasi, HAM dan keadilan sosial, paham-paham sekularisme, federalisme serta paham­paham politik moderen lainnya. Tentu saja pengajaran PPKn juga mengacu pada nilai-nilai moral rela berkorban dan cinta tanah air yang telah ditunjukkan oleh para pahlawan bangsa.
Kedua, pemahaman terhadap nilai-nilai moral Pancasila, jadi terutama aspek kognitif, memampukan peserta didik berinteraksi secara terbuka dengan seluruh aspek ideologi, politik, budaya dan agama dalam masyarakat global. GBPP PPKn 1994 menegaskan bahwa pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan hendak memampukan peserta didik “menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.” Di sini lalu Pancasila sebagai filsafat moral yang bersifat terbuka mendapat penekanan semestinya.
Kurikulum pendidikan nasional tahun 1994 dan suplemen GBPP 1999 telah memvisikan secara bagus bagaimana PPKn seharusnya diajarkan. Persoalannya, mengapa stigma PPKn sebagai mata pelajaran hafalan atau basa-basi tak bermakna—karena tidak mempengaruhi hidup para siswa secara langsung—tetap saja melekat pada bidang studi ini? Di sini saya berpendapat bahwa pengajaran PPKn selama ini lebih bersifat basa-basi tak bermakna ketimbang pencerahan atau tuntunan untuk hidup karena kesadaran bahwa pendidikan nasional kita sekarang memang sedang mengalami krisis; dan itu sangat mempengaruhi proses pengajaran bidang-bidang studi yang berhubungan dengan tingka laku manusia, seperti PPKn dan Pendidikan Agama. Dikatakan bahwa pendidikan nasional kita hanya mampu menghasilkan perilaku politik para elit yang kurang berbudaya, merebaknya praktik KKN, arogansi sekelompok masyarakat yang suka memaksakan kehendak, semakin sadisnya kejahatan di masyarakat dan sebagainya. Masalah-masalah ini bisa diminimalisir seandainya proses pembelajaran PPKn dan bidang-bidang studi lainnya yang berhubungan secara langsung dengan pengajaran nilai-nilai kehidupan moral merupakan refleksi atas kehidupan bersama sebagai bangsa-dengan mengaca pada nilai-nilai luhur bangsa—dan kemudian sepakat untuk merancang sebuah kehidupan yang lebih baik.[10]
Para perancang kurikulum (Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah dengan melibatkan para ahli mata pelajaran PPKn, pengembang kurikulum dan guru-guru PPKn) sungguh menyadari persoalan ini. Oleh karena itu dalam suplemen GBPP 1999 ada pengurangan materi-materi tertentu karena kurikulum 1994 dianggap terlalu padat dan terlalu banyak mengandung materi yang tidak perlu bagi masa depan anak-anak serta kurang mempersiapkan anak untuk memasuki kehidupan zaman globalisasi.[11] Penekanannya lalu beralih dari bentuk hafalan/kognitif (drilling) kepada pembiasaan (know how to live according to Pancasila). Dengan demikian sebetulnya pembelajaran PPKn sebagaimana ditegaskan suplemen 1999 cukup lengkap, karena menekankan baik penguasaan konsep, penghayatan nilai-nilai, perwujudan sikap maupun partisipasi sosial kemasyarakatan. Masalahnya, bagaimana mewujudkan hal-hal tersebut dalam proses mengajar-belajar? Untuk bisa mewujudkan hal ini kita perlu melakukan paling kurang tiga hal. Pertama, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran. Ini bisa ditempuh selain melalui perbaikan kurikulum, juga penyediaan sarana-sarana pendidikan, menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang menarik dengan melaksanakan in-service training bagi guru, pemanfaatan media audio visual dan merencanakan mata peiajaran secara baik. Kedua, meningkatkan mutu para pendidik, dan ketiga, membenahi manajemen pendidikan.[12]
Marilah kita memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Menurut Dr. Mochtar Buchori, lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran adalah lingkungan yang bebas dari birokratisasi dan politisasi pendidikan. Mengutip Buchori, “…iklim pendidikan yang memberikan kebebasan berpikir kepada anggota-anggota staf pengajar, dan mempertahankan sikap kritis terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan lembaga pendidikan.”[13]
Mengenai mutu pendidikan, Almarhum J. Drost, SJ, ahli pendidikan dan mantan Kepala Sekolah SMU Gonzaga, Jakarta berpendapat bahwa para pengajar hanya bisa mengajar dan menimbulkan minat belajar bagi para siswa kalau mereka sungguh-sungguh menjadi profesional, dafam arti sungguh-sungguh menjadi ahli mengenai bidang-bidang studi yang mereka ajarkan. Drost kemudian mengusulkan bahwa untuk bisa mengajar di SD seorang guru harus lulusan sarjana IKIP. Sementara pengajaran di SLTP dan SLTA menuntut guru-guru berijasah magister.[14]
Bagaimana mengenai pembenahan manajemen pendidikan? Berbagai metode bisa dicoba. Ir. Johannes Oentoro, PhD, Mantan Rektor Universitas Pelita Harapan Karawaci-Tangerang mengusulkan pola manajemen industri bagi dunia pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, dunia industri sangat menekankan unsur keunggulan (excellence) dan competitiveness. Kedua aspek inilah yang memacu industri untuk terus beroperasi dan eksis. Ini bisa berjalan kalau semua unsur dalam industri punya kemampuan yang tinggi untuk survive karena adanya tenaga kerja yang trampil dan memiliki kemampuan otak yang memadai sehingga mampu menggunakan produk-produk baru dan memproses teknologi yang sedang digarap. Selain itu, memang dituntut para pemimpin yang visioner, yang memiliki karakter, karisma, kompetensi dan komitmen untuk organisasi yang dipimpinnya. Menurut Oentoro, dunia pendidikan bisa menerapkan pola manajemen industri ini sejauh pola ini melingkupi baik aspek akademis, etis, sosial maupun politik secara optimal. Demikianlah, menyelenggarakan pendidikan yang bermutu mensyaratkan unsur-unsur sebagaimana dibutuhkan untuk menjalankan sebuah industri. Semuanya ini mengandaikan aspek profesionalitas dan sumber daya manusia sebagaimana diusulkan J. Drost di atas.[15]
2.2. Pentingnya Metode Pendekatan
Menarik dicatat bahwa pembelajaran PPKn di sekolah-sekolah hendak mengkover sekaligus dimensi kognitif, penghayatan nilai, perwujudan sikap maupun partisipasi. Ini semua bisa terwujud kalau kita menerapkan metode pendekatan yang sesuai (tepat).
Mengenai hal ini, saya menggagas tiga metode pendekatan yang bisa dipakai secara serentak dalam pengajaran bidang studi PPKn. Pertama, pendekatan penawaran nilai-nilai moral. Pendekatan ini bersumber pada kesadaran akan pentingnya penentuan sikap individu dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kehidupan pribadi maupun sosial-­kenegaraan. Kesadaran ini mau mengesampingkan segala bentuk indoktrinasi supaya bisa mewujudkan sebuah diskursus serta pilihan nilai yang objektif dan bebas. Misalnya kita hendak menawarkan nilai toleransi antarumat beragama. Daripada mengindoktrinasi siswa dengan nilai-nilai toleransi antarumat beragama demi suksesnya pembangunan nasional, sebaiknya kita mendiskusikan persoalan-persoalan yang timbul seputar toleransi, isu-isu SARA, semua keberhasilan dan kegagalan kita sebagai bangsa dalam merajut tali persaudaraan antaragama bahkan mengaca pada sikap toleransi dari nenek moyang kita. Dalam suasana yang interaktif semacam inilah para siswa akan mengambil sikap-sikap tertentu yang akan dihayati secara pribadi.
Mengapa penawaran nilai-nifai moral menjadi lebih penting dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan daripada indoktrinasi? Alasannya, penawaran nilai-nilai moral Pancasila serta pembentukan watak yang baik senantiasa mengacu pada tiga hal, yakni (1) bagaimana seseorang membentuk dirinya sebagai pribadi yang baik secara moral. Di sini seorang siswa akan membatini nilai-nilai luhur Pancasila, menjadikannya sebagai nilai-nilai moral pribadi dan kemudian mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. (2) Bagaimana siswa menempatkan dirinya sebagai warga negara yang baik secara moral dan yang mengusahakan agar sesamanya juga memiliki serta menghidupi nilai-nilai moral yang kurang lebih sama. Dan (3) membangun sebuah relasi penuh syukur, baik dengan alam semesta maupun dengan Tuhan Sang Pencipta. Dengan ini lalu potret manusia Indonesia yang bermoral Pancasila bisa menjadi lengkap dan menyeluruh. Manusia Indonesia yang bermoral Pancasila dalam konteks ini adalah yang baik secara moral, yang membangun relasi yang semestinya dengan sesama dan dengan negara, juga dengan alam semesta clan dengan Tuhan sendiri.
Metode pendekatan penawaran nilai ini sangat mengandaikan adanya keakraban dan wibawa dalam hubungan antara guru dan murid. Keakraban yang dimaksud adalah trustful dan wibawa dalam arti disegani. Mengenai hal ini Dr. Mochtar Buchori berpendapat:
“Terutama untuk pengembangan watak, untuk pengembangan karakter, keakraban dan wibawa dalam hubungan guru – murid benar-benar merupakan syarat mutlak. Hanya guru yang disegani (yaitu guru yang berwibawa) dan dipercaya (yaitu guru yang akrab hubungannya dengan murid-murid) akan mampu menuntun murid untuk mengembangkan tata nilai pribadinya.”[16]
Kedua, metode kritis. Pengajaran bidang studi apapun memang seharusnya bersifat kritis. Yang dimaksud dengan pembelajaran PPKn secara kritis adalah bagaimana pengetahuan mengenai hal yang baik secara moral (Pancasila) menjadi sarana evaluasi kehidupan bernegara. Melalui pendekatan ini kita memperkenalkan kepada para siswa nilai-nilai ideal Pancasila. Pengetahuan mengenai hal-hal yang ideal menurut Pancasila ini pada gilirannya akan membuka horison pemikiran para siswa untuk memilah-milah realitas kehidupan bernegara yang seharusnya ada (das sollen) dan realitas yang de facto ada (das sein). Bagaimana para siswa bereaksi terhadap realitas tertentu sangat ditentukan oleh kontras antara das sollen dan das sein ini. Beberapa tema PPKn seperti masalah keadilan sosial, penghormatan terhadap HAM, demokrasi (Pancasila), dan kebebasan beragama lebih cocok didekati berdasarkan metode ini.
Ketiga, pendekatan partisipatif. Pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa ruang kelas merupakan representasi dari sebuah lingkungan kehidupan yang lebih luas, yakni masyarakat. Dalam lingkungan kehidupan yang lebih luas inilah terdapat persoalan-persoalan kenegaraan, termasuk bagaimana seharusnya manusia Indonesia berperilaku secara moral. Oleh karena itu proses pembelajaran di kelas harus berorientasi kepada kehidupan yang lebih luas tersebut. Pendekatan partisipatiflah yang bisa mengarahkan siswa ke lingkungan yang lebih luas itu, selain untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi clan kemudian merancang jalan pemecahannya.
Mari kita ambil satu contoh. Kita ternyata hanya bisa memahami dan mengapresiasi sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) dan menjadi sangat kritis terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme) manakala kita mengalami sendiri bagaimana mayoritas masyarakat bergulat mempertahankan kehidupannya sebagai pedagang-pedagang kecil, penjaja barang di angkuatan umum, para pedagang koran dan pemulung yang “nasibnya” sangat ditentukan misalnya oleh Dinas Ketertiban Kota.
Umumnya buku-buku pelajaran PPKn sekarang telah menyertakan juga bagian mengenai tugas yang harus dikerjakan siswa. Yang kita butuhkan sekarang tidak sekadar melaksanakan tugas-tugas tersebut tetapi justru merancang pertemuan-pertemuan atau diskusi-diskusi lanjutan agar para siswa bisa membagikan pengalaman, pengetahuan ataupun nilai-nilai yang mereka miliki karena mengerjakan tugas-tugas tersebut. Untuk mewujudkan hal ini sebuah lingkungan pendidikan yang kondusif dan kooperatif sangat diandaikan. Selain itu, kemampuan guru dalam merancang mated pelajaran menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya.
3.      Tiga Persoalan
Sebagai editor dan penulis buku Kewarganegaraan, saya melihat paling tidak tiga persoalan penting yang berhubungan dengan matede pengajaran bidang studi ini. Menggagas ketiga persoalan ini justru menjadi langkah awal untuk keluar dari kendala-kendala yang ditimbulkan olehnya.
Pertama, ternyata masih cukup sulit untuk melepaskan diri dari metode penyajian doktriner, karena memang di dalam bidang studi PPKn sendiri terdapat beberapa matede yang tampaknya tidak bisa tidak diajarkan melalui doctrinizing the students. Misalnya, doktrin mengenai demokrasi Pancasila, wawasan nusantara, prinsip keadilan sosial dan HAM versi Pancasila, ekonomi Pancasila, doktrin geopolitik dan geostrategi TNI, konsep kebangsaan Indonesia, persahabatan dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka keikutsertaan menjaga ketertiban dunia, clan lain sebagainya.
Kalaupun masih sulit untuk membebaskan diri dari metode ini, sebuah penyajian dengan matede yang bersifat “ilmiah”, komprehensif dan menantang daya pikir bisa membangkitkan apresiasi siswa terhadap materi ajar. Tetapi hal terakhir ini pun masih sulit diwujudnyatakan sehingga mempelajari PPKn tidak bisa tidak menyebalkan. Hal yang paling tidak mendidik adalah mengindoktriniasi sikap moral tertentu berdasarkan materi ajar tanpa memberikan ruang kebebasan berpikir dan memilih secara bebas. Misalnya sikap mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi—materi ajar “Keadilan Sosial”. Padahal sikap dan pemahaman semacam ini bisa dipraktikkan secara lain oleh penguasa yang otoriter.
Kedua, kalaupun dimensi moral Pancasila mau ditonjolkan dalam pembelajaran PPKn, kita belum menemukan sebuah model atau metode pendekatan moral yang ingin dikembangkan dalam proses pengajaran. Memang masih perlu pembuktian lebih lanjut, tetapi harus ditegaskan bahwa berdasarkan teori-teori filsafat moral yang ada kita bisa mengembangkan materi ajar PPKn secara lebih baik lagi. Selain ketiga metode pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas, bisa ditambahkan bahwa mungkin pada tingkat SLTP dan SLTA diperlukan pendekatan etika keutamaan, dalam arti dengan pembelajaran PPKn kita hendak menawarkan nilai-nilai moral tertentu sebagaimana diajarkan Pancasila demi pembentukan sebuah disposisi batin yang bersifat tetap. Ini mengandaikan suatu latihan dan kebiasaan berbuat baik. Selain itu, pendekatan ini sangat menekankan peran tokoh-tokoh model yang memiliki keutamaan, hal yang penting bagi anak-anak usia SLTP clan SLTA.[17]
Ketiga, ada hal-hal tertentu yang tidak jelas dengan sendirinya meskipun telah menyandang predikat Pancasifa. Misalnya apakah ekonomi Pancasila dengan sendirinya unggul terhadap sistem perekonomian kapitalisme dan komunisme? Padahal tren pemikiran terakhir menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang demakratis telah menjadi senjata pamungkas yang cukup ampuh melawan kapitalisme dan komunisme. Dan demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi murni tanpa embel-embel, sehingga dengan demikian demokrasi Pancasila pun dipersoalkan esensinya.[18]
Di luar ketiga persoalan tersebut, saya merasa perlu mengoreksi penyajian materi “Ketakwaan clan Kerukunan Antarumat Beragama”. Umumnya buku-buku PPKn menegaskan bahwa kesadaran dan keyakinan kosmis telah menjadi alasan mengapa manusia Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Kita wajib mengakui dan meyakini Tuhan karena manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan semua benda yang ada di sekeliling kita diciptakan oleh Dia.[19] Jalan-jalan lain ke arah ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih perlu dibangun, misalnya melalui kesadaran akan keterbatasan akal budi manusia dalam memahami realitas, keadilan Tuhan serta pengalaman-pengalaman eksistensial lainnya seperti pengalaman penderitaan dan di ambang kematian.
4.      Penutup
Pendidikan sebetulnya merupakan usaha sadar merekayasa tindakan-­tindakan tertentu. Dalam konteks ini pendidikan lalu dipahami sebagai tindakan kebudayaan. Pendidikan berhubungan dengan bagaimana melatih dan membiasakan akal budi supaya memiliki gagasan/idea/konsep atau cara berfikir tertentu, supaya merancang sistem sosial dan pola tindakan tertentu dan supaya menghasilkan barang-barang tertentu. Pendidikan PPKn di sekolah-sekolah juga merupakan tindakan kebudayaan. Dengan mengajarkan bidang studi ini kita sebetulnya merekayasa gagasan/idea/konsep atau cara berfikir dan bertindak tertentu berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Diharapkan hal ini sudah bisa tercapai lewat pendekatan penawaran nilai-nilai moral dan partisipasi. Tindakan kebudayaan selanjutnya sangat ditentukan oleh para peserta didik sendiri yang akan dengan bebas menentukan cara ia berfikir, memahami dan menafsir realitas serta mematok pola tindakannya.[20]
Tindakan kebudayaan para peserta didik di kemudian hari yang berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita merekayasa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut. Bila rekayasa itu kental dengan muatan politis tertentu yang mendukung status quo atau kekuasaan tertentu maka sudah hampir pasti kita jatuh ke dalam kesalahan yang sama yang dibuat oleh penguasa Orde Baru. Ternyata otonomi tertentu terhadap proses perancangan pendidikan (rekayasa), terutama pendidikan yang berhubungan dengan tingka laku manusia, sangat diandaikan.***
BAB III
KESIMPULAN

Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalhan tetapi ini semua wajar karena indonesia baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapar berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Abraham Panumbangan (mahasiswa fisipol UMY).Masih perlu waktu. www.kr.co.id  edisi Jum’at, 15 Juli 2005
2.      Hasan Shadily, dkk.1973. Ensiklopedi Umum . Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin Jakarta.
3.      M. Ma’ruf (Mentri Dalam Negeri).Optimisme hadapi pilkada langsung. www.kompas.com edisi selasa, 22 Februari 2005
4.      Redaksi Kompas. APBN-P 2005 Bantu Rp 464,9 Miliar . www.kompas.com edisi Rabu, 30 Maret 2005
5.      Suardi Abubakar, dkk. 2000. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 SMU.Jakarta: Yudhistira.
7.      Mustafa. ( Mahasiswa Unsam Langsa ) Muez Chaniagoe Brontouque

Tidak ada komentar:

Posting Komentar